Opini

PENGHAPUSAN UN TEROBOSAN ATAU KEGAGALAN  DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Muklis Puna

"Pendidikan Itu Menyalakan Bara Api,  Bukan Mengisi Bejana"

Sudah menjadi tradisi pendidikan di negeri ini,  jika terjadi pergantian menteri,  maka kebijakan terhadap kehidupan pendidikan negeri juga tergantikan.  Entah pola pendidikan yang belum sistematis, entah juga ada kepentingan finansial di baliik hal tersebut.  Negeri ini sepertinya masih dianggap sebagai laboratorium yang menjanjikan. 

Sebuah kebiasaan yang membumi dalam kancah birokasi pendidikan indonesia,  bahwa setiap pergantian menteri selalu saja dikuti dengan kebijakan baru.  Ada saja kebijakan lama yang harus ditukar dan dibongkar sesuai dengan pelaku pendidikan yang menjabat.  Hal seperti ini sudah terasa jengah di tengah kehidupan masyarakat pendidikan hari ini.  Penulis hanya menyampaikan suara- suara sumbang yang beredar di tengah suasana pendidikan yang seolah selalu membuat kontroversi.  

Tidak hanya itu,  di tengah kegamangan pendidikan Indonesia yang sampai hari ini belum mendapat bentuk yang standar setara dengan negeri tetangga.  Apa sih dosa yang harus dipikul oleh anak cucu kita ke depan?,   jika mengulas tentang peringkat pendidikan hari ini. 

 Di sini penulis tidak  mengutip sedikitpun nasihat atau wejangan dari pakar pendidikan dalam mengembangkan tulisan yang kritis ini.  Tanggung jawab moral yang dimilik oleh penulis selaku pemain utama dalam dinamika pendidikan hari ini sedang diuji  kelayakannya dalam mengemban peran ini. Mengulas tentang Ujian Nasional (UN)  berarti mengulas tentang parameter dan paradigma yang digunakan dalam pembangunan pendidikan. 

 Pertanyaannya apakah Ujian Nasional sudah tepat dijadikan sebagai indikator pendidikan ?   Secara serampangan pertanyaan ini dapat dijawab oleh siapa saja yang menggunakan logika berpikir.  Orang beranggapan bahwa masa sih tiga tahun belajar dites cuma tiga hari dengan beberapa mata pelajaran?  Biarkan pertanyaan itu berlangsung dan berkembang sebagai penyeimbang dalam berpikir. 

Namun  mengacu pada  Program Internasional Asesmant Student ( Pisa) Tahun 2019  menyebutkan bahwa ada tiga indikator yang dijadikan ukuran terhadap kemajuan suatu bangsa yaitu literasi baca tulis,  literasi numerasi,  dan literasi ICT.  Berarti jika merujuk pada sistem pelaksanaan UN yang mau pamit dari dunia pendidikan sudah terintergrasi dengan tepat, ketika UN dilaksankan dengan sistem komputerisasi. 

Dilihat dari kajian di atas hal yang disebutkan oleh PISA sudah ada dalam sistem ujian nasional.  Akan tetapi,  yang ditagih pada UN adalah lebih kepada penguasaan konseptual bukan pada aplikatif yang diinginkan oleh tujuan pendidikan nasional.  Ketika penguasaan konsep menjadi tagihan waktu Ujian Nasional,  maka muncullah proyek Bimbel berbasis cara cepat dan tepat menjawab soal.  Hafalan jadi tujuan, aplikatif semakin jauh dari ruang- ruang belajar.  Pertanyaannya muntah kembali apa yang didapat oleh generasi muda ke depan sebagai bekal  hidup,  jika polanya seperti itu. Bukankah tujuan utama pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang memiliki ilmu pengetahuan,  keterampilan dan bernilai karakter?  Masalah bertambah runyam,  seminar di mana- mana pelatihan tak putus- putus bagai gelombang di  musim pasang. Perubahan tak juga mendekat yang ada peringkat lari menjauh bertengger di nomor buncit.. . Kasihan...! 

Dari beberapa konsep yang berkembang menyiratkan bahwa pelaksanaan UN dilakukan hanya sebatas pemetaan pendidikan.  Mari lihat analisis berikut, pemetaan adalah sebuah potret yang berhubungan dengan pendidikan dalam skala nasional.  Nasional artinya gabungan banyak provinsi yang tersebar di belahan nusantara dan dihuni oleh populasi yang memiliki keunikan tersendiri.  

Kemajemukan yang dimiliki oleh masyarakat nasional disatukan oleh satu bahasa diantara tujuh ratus lebih bahasa yang digunakan. Bahasa adalah representasi pikiran.  Bagaimana pola pikir begitulah bahasanya.  Nah...! Pola pikir yang beragam menurunkan karakter yang berbeda pula.  Keadaan ekonomi,  budaya,  dan karakter bisakah diajadikan potret dalam pendidikan melalui pelaksanaan UN?  Standar baku kelulusuan yang ditetapkan dengan skor yang tidak mempertimbangkan kompleksitas yang dimiliki oleh pebedaan telah menuai masalah.  

Indikator pemetaan pendidikan belum mewakili senua sebab,  akibat dan hal yang berhubungan dengan sumber daya manusia yang keluar lewat sistem pelaksaaan UN. Bayangkan saja! Berapa banyak terkuras dana pendidikan Indonesia untuk pelaksanaan Ujian Nasional ( UN) mulai dari biaya pembuatan soal,  distribusi,  pengawasan sampai ke pelaksanaan.  Masih mending kalau berbasis komputer ( UNBK)  kalau seandainya semua berbasis paper (kertas) lebih dahsyat lagi.  Seyogyanya dana itu dapat digunakan untuk peningkatan kompetensi guru yang lebih nyata aplikasinya dalam kehidupan pendidikan. Sangat disayangkan,  jika hal yang telah disebutkan di atas,  pelaksanaan Ujian Nasional ( UN)  hanya bertujuan sebagai pemetaan pendidiikan.   Ini sesuatu indikator yang meragukan atau mungkin ada sesuatu yang bersembunyi di balik Ujian Nasional ( UN(  sehingga instrumet ini lebih seksi dan menarik dalam birokrasi Pendidikan Indonesua. 

Selanjutnya,  sejauh mana korelasi  Ujian Nasional dengan perguruan tinggi yang dijadikan sebagai tujuan lanjutan bagi peserta didik dalam meningkatkan kompetensi agar mampu bersaing dengan generasi bangsa lain di dunia?   Lagi- lagi ini memunculkan kontroversi yang luar biasa.  Nilai -nilai yang dikumpulkan peserta didik dari ruang bersekat selama tiga hari selama tiga tahun ternyata banyak yang abai.  Seolah- olah ini hanya rutinitas yang wajib dikuti peserta didik selama tiga tahun belajar.   Standar ganda yang digunakan perguruan tinggi dengan cara meminta calon mahasiswa untuk mengikuti tes yang begitu ketat dengan pasing grade yang ditetapkan telah membuat sistem pelaksaaan Ujian Nasional ( UN) hanya sebagai serimonial belaka pada setiap babak berakhirnya pendidikan pada tiap sekolah. Kecilnya korelasi antara hasil pelaksanaan Ujian Nasional ( UN) dan  sistem penerimaaan mahasiswa baru di perguruan tinggi telah memunculkan investasi baru yang dikelola pihak swarlta dalam bentuk bimbingan belajar untuk lulus di perguruan tinggi.  

Sekilas memang menarik,  dunia pendiddikan menjadi seksi untuk diincar oleh berbagai pihak.  Namun,  dari segi psikologi yang dimiliki guru tentu ini berbeda hal nya. Bayangkan saja guru yang mengajar secara kolektif dari berbagai disiplin ilmu pada tingkat sekolah,  ketika peserta didik melangkah ke gerbang kampus,  mereka harus mencari  jalan pintas melalui bimbel yang dibuat oleh lembaga- lembaga lain.  Ada ketidakpercayaan yang muncul pada diri peserta didik terhadap sistem belajar di sekolah,  teknik mengajar dan pembelajaran yang diberikan guru pada saat ia belajar pada jenjang sekolah.  

Penghapusan Ujian Nasional ( UN) 

Ada hal yang menarik ketika Mas Menteri Nadiem Makarim mengambil kebijakan tentang penghapusan Ujian Nasional ( UN). Walaupun mengundang kontroversi yang luar biasa tertama dalam birokrasi pendidikan Indonesia.  Berita ini menjadi viral dan trending topik pada aplikasi google.  Sejuta pertanyaan membusur dalam bentuk optimis dan pesimis. Bagi pegiat pendidikan yang optimis,  mereka menggangap ini langkah berani  bagi seorang menteri muda yang tidak memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan masalah yang ditangani.  Bagi pakar  pendidikan yang pesimis,  mereka menggangap sebuah eksperimen terbesar dalam pelaksanaan pendidikan. Artinya,  ada kegalalan dan terobosan yang berbanding terbalik antara penghapusan sistem Ujian Nasional ( UN) dengan sistem baru yang digantikan.  Mereka beranggapan  jika ini berhasil, maka peringkat pendidikan Indonesia di mata dunia akan bergerak naik ke arah yang lebih baik.  Akan tetapi,  jika gagal dapat dibayangka apa akan dituai. Selama ini bagaimana sistem yang tertata rapi telah runtuh dan butuh waku untuk menata kembali.  

Ujian Nasional ( UN)  diganti Assesment Ketuntasan Minimal (AKM) 

Penghapusan UN merupakan sebuah beban yang harus dipikul oleh dunia pendidikan Indonesia terutama birokrasi pengelolaan pendidikan.  Seperti ada sebuah ketakutan yang amat dalam.  Walaupun wacana penghapusan sudah lama didengungkan lewat wacana- wacana politik yang berkembang sesaat.  Sebuah langkah berani yang diambil oleh Mas Menteri Nadien  Makarim dalam proses ini.  Pemahaman penulis,  bahwa sebuah tembok Ujian Nasional ( UN) yang kokoh berdiri selama 18 tahun berkuasa membutuhkan sejumlah nyali untuk mendobraknya,  sehingga tabir pendidikan sesungguhnya terbuka.  

Tahun 2020 merupakan tahun terakhir dari pelaksanaan Ujian Nasional ( UN).  Selanjutnya,  sistem ini akan digantikan oleh Asesmet Ketuntasan Minimal( AKM) Berdasarkan  informasi yang berkembang sistem ini merupakan indikator baru dalam proses evaluasi terhadap ketercapaian pendidikan yang dicapai peserta didik.  Instrumen ini akan dikuti oleh peserta didik pada kelas 4 Tingkat Dasar (SD) ,  kelas 8 Tingkat Menengah Pertama (SMP)  dan kelas 11 Tingkat Menengah atas.  Instrumen ini kabarnya tidak dapat dipakai sebagai ukuran untuk masuk perguruan tinggi.  Secara evaluasi instrumen ujian sepertinya dijadikan sebagai landasan dalam menumbuhkan karakter  peserta didik yang lebih bermartabat.  Artinya,  hasil evaluasi data akan diberikan treitmen terhadap keberlangsungan belajar peserta didik.  Kelihatannya ada hal yang menggembirakan dalam sustem penilaian model AKM.  Perseta didik diarahkan pada soft skill yang harus dimiliki sebagai bekal apabila tidak dilanjutkan ke tinggkat yang lebih tinggi khususnya pada tingkat menengah.  Hal ini setidaknya dapat mengibangi pendikdiksn vokasi yang  sedang digalakkan pada tingkat SMK. 

Ada fenomena aneh terhadap penggunaan AKM dan survei karakter sebagai alternatif pengganti Ujian Nasional ( UN),   sampai saat ini belum tampak bentuk istrumen yang baku.  Banyak di atara pelaku pendidikan khususnya ujung tombak pembelajaran yaitu guru- guru yang mengampu mata pelajaran pada tingkat sekolah. 

Walaupun stadar baku dari AKM belum terwujud,  sebagai agen -agen pendidikan menaruh rasa optimis yang tinggi terhadap sistem pendidikan yang berbasis aplikatif.  Sebaiknya sisten ini harus dikebangkan secara intens  dan regular pada seluruh lini,  baik pada pembelajaran,  AKM dan pengurusan kepangkatan guru.  

Nah... ! panjangnya uraian di atas mengisyaratkan penulis bahwa tulisan ini harus diakhiri dengan simpulan.  
1. Pengjapusan Ujian Nasional ( UN)  yang akan dilaksanakan pada tahun pelajaran 2021/2022 adalah sebuah terobosan baru untuk menjawab sebuah kemandekan secara holistik dalam sistem pendidikan Indonesia. 
2. Jika alternatif pengggati Ujian Nasional ( UN) tidak dievaluasi secara tepat dan tidak punya standar baku dikuaatirkan sistem pendidikan Indonesia kehilangan arah dalam menata sumber daya manusia seperti yang diarahkan oleh tujuan pendidikan nasioal. . 
3. Sebsgai Insan pendidikan sebaiknya rasa optimistis harus dimiliki terhadap perubahan yang sedang digalakkan demi kemajuan dan majunya harkat martabat Bangsa Indonesia dari negara brrkembang menjadi negara maju pada tahun keemasan 2045.

Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMA N 1 Lokseumawe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai

Artikel

Esai