Artikel
Pemberontakan Jiwa dalam Puisi "Aku dan Kematian" Karya Mimi Marvil
Sebuah Kajian Psikologi Sastra
Oleh: Muklis Puna
Lama nian anganku terpendam untuk membongkar sebuah isyarat yang disembunyikan di balik sebongkah puisi. Saat ini kucoba beranikan diri untuk menyelami seberapa dalam jiwa sesorang penyair, jika mengungkapkan sebuah kematian yang akan dihadapi. Ketika tulisan ini membusur dari jari- jemari, penulis sudah berusaha mengenal sang penyair lebih dekat lewat tanda - tanda yang disematkan dalam puisi ulasan. Mimi Marvil adalah salah seorang penyair perempuan yang eksis du dunia maya. Hubungan koresponden dengan penuli sempat timbul dan tenggelam di dunia maya. Dari banyak puisi yang ditulis hampir semua mendap apresiasi yang luar biasa dari pengamat dunia maya.
Dari sekian banyak puisi yang ditulis, baru saat ini penulis sempat menyusur dan berselancar dalam Puisi " Aku dan Kematian " Khususny berhubungan dengan psikologi penyair. Dalam puisi ini penyair mencoba mengupas tentang beban psikologi yang dimiliki oleh penyair dalam menghadapi semua kematian. Mungkin hal ini sama juga yang dihadapi oleh setiap manusia secara natural. Bedanya orang orang tidak punya media untuk mengungkapkan sebuah proses menuju tuhan sebagaimana yang dilakukan oleh penyair sekelas Mimi Marvil.
Biar tulisan ini tidak terlalu subjekti, kiranya penulis perlu bersandar pada teori psikologi dalam mengupas tanda gelisah jiwa yang dibugkus dengan bahasa yang indah, padat, ketat, dan gelap baik dari segi bentuk maupun makna. Menurut Ibnu Sina, kemampuan berpikir yang dimiliki manusia memberikan mereka hubungan yang unik dengan Sang Pencipta. Dia juga berpendapat bahwa kemampuan mental dipengaruhi oleh bagian tertentu pada otak manuisa. Sepanjang sejarah psikologi, Ibnu Sina adalah ilmuwan pertama yang berupaya memahami cara kerja pikiran dan penalaran manusia.https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/nrer4d39. Kutipan ini menjelaskan bahwa terdapat sebuah ruang yang tidak bisa dimasuki oleh siapapun kecuali antara Tuhan dan manusia itu sendiri. Ruang itu adalah pemikiran yang dimiliki oleh manusia. Apa yang dipikirkan oleh manusia berati hanya Tuhan dan manusia sebagai objek pikir. Inilah yang sebut sebuah ruang yang bersifat rahasia. Dalam konteks jiwa yang lain publik sering menyatakan " Hanya tuhan dan Dia yang mengetahui hal itu "
Unik dan terlalu unik untuk mengungkapkan sebuah hal yang berada dalam jiwa seseorang apalagi hal itu berhubungan dengan sebuah perenungan tentang introspeksi diri antara "Aku dan Kematian '
//tak terhitung sudah// //betapa keranda lalu-lalang di jalanan// susunan bahasa ditata dengan sangat sederhana, seperti bahasa sehari -hari, namun kekuatan jiwa yang dimiliki penyair sangat luar biasa. Dalam barisan bait ini penyair adalah seonggok daging yang diberikan ruh oleh sang pencipta untuk menjalankan tugas sebagai khalifah. Artinya setelah semua tugas selesai, maka ia akan kembali pada sedia kala ( sesuatu yang bermula dari tanah, maka ia akan kembali ke tanah) seonggok daging adalah sebuah perwakilan bagi manusia lain yang ada di alam fana ini. Seolah penyair beresorak dalam batinnya " sudah banyak orang menuju jalan pulang " namun yang dingatkan oleh penyair bagaimana jalan pulang yang cocok untuk setiap manusia setelah melakukan tugas sebagai khalifah.
Perhatikan bait berikut :
/betapa keranda lalu-lalang di jalanan// Apakah ini tidak cukup sebagai tanda bagi semua insan bahwa kehidupan ini hanya sebuah sandiwara. Bukankah hiduo ini sebuah mimpi, begitu roh pamit dari jasad kita baru bangun dari mimpi? /ini sebuah hal yang harus jadi perhatian bagi setiap insan. Keranda kematian adalah sebuah tanda yang merupakan manifestasi terhadap sebuat nasihat bagi yang hidup. Hidup jiwanya bukan hidup jasadnya yang bergerilya ke sana -sini mencari kesenangan sesaaat.
/satu per satu nama berpulang/tinggalkan kenangan/ ada banyak saudara, Lawan, kerabat sudah duluan berpulang. Apakah ini tidak dapat dijadikan pelajaran dalam berpikir? Lalu apakah keberangkatan kawan, saudara lebih duluan tidak dapat dijadikan nutrisi bagi jiwa yang bimbang dalam menata hidup? Contoh bersileweran di samping kirk dan kanan. Betapa begitu indahnya Tuhan menyiapkan sebuah kematian yang didahului oleh jutaan peristiwa dan kematian bagi yang akan menuju ke rumahnya... Subhnallah ..
//tak terhitung sudah//canda dan tawa menjelma nisan//
//berdiri tegak tanpa tulisan//mengubur diri dalam kesunyian
// adakah setelah ini, aku yang harus pulang//
pada bait ini penyair memberikan sebuah makna hidup yang liar biasa, bahwa betapa banyak orang yang kemaren dan sebelumnya sehat bugar, namun ketika daun daun kematian itu berjatuhan dari pohon maut dia terbujur kaku hanya nisan yang yang bertuliskan namanya. Diujung larik penyair mengajukan sebuah pertanyaan fenemenal"adakah setelah ini, aku yang harus pulang// sebenarnya itu bukan "Akunya' Penyair Mimi Marvil, namun ia hanya sebagai representative dari setiap jiwa yang ada dijagad ini.
//masih adakah waktu////untuk diri menadahkan tangan//
//meminta ampun dan berserah diri pada Ilahi//
//bila maut tiada mengenal kata permisi//
Diakhir bait penyair juga mengajukan sebuah tanya, masih adakah waktu tersisa sekejap saja untuk mengetuk pintu langit dan mohon ampun pada-Nya. Jiwanya seolah meleleh sampai ke titik terendah. Betapa kecil dan tak berdaya setiap jiwa jika dihadapkan padaNya. Inilah sebuah pemberotakn jiwa seorang penyair. Apabila ia sudah menyatu dengan tema puisi yang dikembngkan. Bahasa yang digunakan jauh dari sublimatis namun mudah dicerna oleh berbagai tingkat keilmuan pembaca. Ketelanjangan bahasa yang digunakan dalam menyuarakan suara jiwa tentang kematian membuktikan sebuah kematangan dalam menulis. Demikian Muklis Puna
Aku dan Kematian
Mimi Marvill
tak terhitung sudah
betapa keranda lalu-lalang di jalanan
satu per satu nama berpulang
tinggalkan kenangan
tak terhitung sudah
canda dan tawa menjelma nisan
berdiri tegak tanpa tulisan
mengubur diri dalam kesunyian
: adakah setelah ini, aku yang harus pulang
tak terhitung sudah
waktu-waktu terbuang
keangkuhan menjelma debu
kotor menyesakkan
masih adakah waktu
untuk diri menadahkan tangan
meminta ampun dan berserah diri pada Ilahi
bila maut tiada mengenal kata permisi
Temanggung, 04/08/2019
Komentar
Posting Komentar